Terkait hal tersebut, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin menyatakan, Pengadilan Tipikor daerah tidak bisa serta-merta dibubarkan. Ia berpendapat, putusan Pengadilan Tipikor daerah yang dinilai tak memuaskan banyak kalangan, berakar pada faktor pembentukannya yang tergesa-gesa.
“Dulu DPR mengusulkan agar Pengadilan Tipikor tidak langsung dibentuk di setiap kabupaten atau kota. Lebih baik sifatnya regional dulu, di Indonesia Barat, Indonesia Tengah, Indonesia Timur. Jadi tidak kemudian diperbanyak di setiap daerah ada,” ujar Lukman yang merupakan mantan anggota Komisi Hukum DPR di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (7/11/2011).
Kemunculan kasus korupsi yang terus membludak dipandang sudah sangat mengkhawatirkan. Sehingga jika Pengadilan Tipikor hanya ada satu, yaitu di Jakarta, hakim-hakimnya dianggap akan keteteran menangani begitu banyak perkara korupsi. Oleh karena itu diusulkan penambahan Pengadilan Tipikor.
“Tapi PPP mengusulkan penambahan itu di tingkat regional saja,” ujarnya. Bila Pengadilan Tipikor dibentuk di tiap daerah, PPP khawatir akan sulit melakukan pengawasan atau kontrol terhadap Pengadilan Tipikor itu.
PPP berprinsip, penambahan Pengadilan Tipikor harus dilakukan secara bertahap. “Karena ini sesuatu yang baru, jadi seharusnya ada masa transisinya,” kata Lukman.
Namun apa mau dikata, pemerintah ternyata menginginkan pembentukan Pengadilan Tipikor di setiap kabupaten dan kota. Keinginan pemerintah itulah yang pada akhirnya diakomodir dan dimasukkan dalam undang-undang.
Kini, ketika muncul wacana pembubaran Pengadilan Tipikor daerah, Lukman berpendapat hal itu tak bisa serta-merta dilakukan. Solusi yang dinilai tepat dilakukan, adalah dengan melakukan eksaminasi.
“Eksaminasi itu adalah pengujian terhadap putusan hakim. Di sini pun kita harus hati-hati. Hakim itu bagaimanapun harus merdeka dalam mengambil putusan, tak boleh diintervensi oleh siapapun,” kata Lukman. Putusan hakim hanya dapat diuji oleh lembaga peradilan yang lebih tinggi.
Tapi untuk mengetahui apakah suatu putusan hakim menyimpang atau tidak, menurut Lukman, dapat dilakukan eksaminasi secara menyeluruh.
“Jadi yang harus diuji tidak hanya putusan hakimnya, tetapi juga misalnya penuntutannya. Jangan-jangan tuntutannya yang lemah, apakah itu tuntutan dari kejaksaan atau KPK,” kata Lukman.
“Atau jangan-jangan anggaran Pengadilan Tipikor di daerah sangat terbatas, sehingga mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menghadirkan saksi dan lain sebagainya,” tambah Lukman. Ia menekankan, masalah yang muncul terkait pengadilan Tipikor daerah itu bisa muncul dari banyak hal.
Sementara itu, KPK sendiri menolak wacana pembubaran Pengadilan Tipikor daerah. Wakil Ketua KPK Bibit Samad Ryanto menyatakan, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah.
“Kalau Pengadilan Tipikor di daerah dibubarkan, bagaimana proses penanganan terhadap korupsi di daerah,” kata Bibit.
Menurut dia, keberadaan Pengadilan Tipikor daerah sangat membantu upaya pemberantasan korupsi. Bibit mengatakan, anggapan Pengadilan Tipikor daerah selalu membebaskan terdakwa korupsi adalah persepsi yang salah.
“Vonis sudah melalui pertimbangan hukum,” klaim Bibit.
Bibit mengklaim, meski ada terdakwa korupsi yang dibebaskan, tetapi banyak pula yang dihukum. Pembubaran Pengadilan Tipikor daerah, kata dia, hanya akan berdampak buruk terhadap proses pengungkapan korupsi, apalagi di daerah terpencil.
Berikut adalah daftar para koruptor yang dibebaskan oleh pengadilan Tipikor:
Selasa, 11 Oktober 2011, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memutus bebas terdakwa Walikota Bekasi nonaktif Mochtar Mohammad. Itu adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah peradilan Tipikor di Indonesia, terdakwa korupsi diputus bebas murni.
Mochtar sebelumnya divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta atas 4 perkara korupsi yang dituduhkan atasnya, yakni suap Piala Adipura 2010, penyalahgunaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kota Bekasi, suap kepada Badan Pemeriksa Keuangan, dan penyalahgunaan anggaran makan-minum yang mengakibatkan kerugian negara Rp 5,5 miliar.
Senin 17 Oktober 2011, Bupati nonaktif Lampung Timur, Satono, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bandar Lampung. Satono adalah terdakwa korupsi dana kas APBD Lampung Timur senilai Rp 119 miliar.
Hanya selisih sehari Rabu 19 Oktober 2011, giliran mantan Bupati Lampung Tengah, Andi Ahmad Sampurna Jaya, yang divonis bebas.
Selasa 25 Oktober 2011, Bupati nonaktif Kepulauan Aru, Thedy Tengko, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Ambon. Thedy menjadi terdakwa dalam dugaan korupsi penggunaan dana APBD Kepulauan Aru tahun 2006 senilai Rp 42,5 miliar.
Terakhir, Pengadilan Tipikor Samarinda memutus bebas beberapa terdakwa kasus korupsi dana operasional anggota DPRD Kutai tahun 2005. Para terdakwa yang diputus bebas itu antara lain Ketua DPRD Kutai Kartanegara nonaktif Salehudin, Anggota DPRD nonaktif Suryadi, Suwaji, Sudarto, Rusliandi, Abu Bakar Has, dan Abdul Sani. Kasus korupsi yang melibatkan mereka disebut merugikan negara sebesar Rp 2,9 miliar.
Terbukti, hukum buatan manusia tidak efektif untuk mengurangi korupsi apalagi menghilangkannya sama sekali. Kalau sudah mentok begini, apa iya, Indonesia tidak juga ‘tertarik’ menerapkan hukum Allah dalam memberantas segala jenis kemaksiatan yang kini seolah menjadi tradisi turun menurun. Atau mungkin saja, ‘tradisi’ itu memang sengaja dibiarkan keberadaannya oleh para penguasa agar bebas menzolimi rakyatnya. Wallohua’lam
SUMBER