
JAKARTA – Pembantaian keji yang menimpa warga Mesuji dan diduga melibatkan aparat di Mesuji dari tahun 2009 hingga 2011, mengundang keprihatinan dari banyak pihak.
Insiden biadab tersebut berawal ketika  sebuah perusahaan yang membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan  karet namun kerap ditentang warga. Perusahaan tersebut akhirnya  membentuk PAM Swakarsa yang diduga dibekingi aparat kepolisian untuk  mengusir penduduk. Pasca adanya PAM Swakarsa itulah terjadi pembantaian  sadis dengan cara menembak, menggorok dan membacok yang mengakibatkan  puluhan orang yang tewas dan ratusan korban luka, termasuk korban secara  psikis yang tidak terekspos.
Koordinator Indonesian Crime Analyst  Forum (ICAF) Mustofa B. Nahrawardaya menyesalkan lambatnya Presiden  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam merespon insiden super biadab yang  menimpa anak bangsa tersebut.
“Presiden semestinya malu dan segera  lakukan langkah cepat. Tidak usah ungkapkan keprihatinan melalui jumpa  pers, tetapi langsung melangkah cepat. Apabila kebiasaan Presiden jumpa  pers kembali dilakukan, berarti telah mempertegas betapa hanya cara-cara  lipstik saja pemerintah menangani kasus besar semacam ini,” ujarnya  dalam rilis yang diterima voa-islam.com, Kamis (15/12/2011).
ICAF mendesak Presiden SBY melakukan  lima langkah cepat Jika tidak bisa melakukan langkah cepat, ICAF  menyarankan agar Presiden SBY mengundurkan diri sebagai presiden,  sebagai tanggungjawab moral.
Langkah cepat pertama, menurut Musthofa,  adalah mengultimatum aparat kepolisian untuk menangkap dan mengusut  kasus pembantaian yang sangat biadab itu.
“Presiden SBY harus melangkah cepat,  berilah target Kapolri beberapa hari untuk tangkap pelaku serta  penjarakan pejabat yang terlibat menutupi kasus super biadab itu. Jika  tidak, SBY bisa disebut lalai dalam melindungi masyarakat hingga terjadi  tindakan keji berupa pemenggalan kepala dan penyiksaan sadis dan  penghilangan nyawa manusia secara massal,” ujar Musthofa. “Apabila tidak  mampu lakukan langkah cepat, sebaiknya SBY segera mundur sebagai  tanggungjawab moral atas hilangnya banyak nyawa melalui kebrutalan dan  kejahatan kemanusiaan,” tambahnya.
Langkah cepat kedua yang harus dilakukan  Presiden SBY untuk mengatasi kasus pembantaian Mesuji, menurut  Musthofa, adalah memanggil para ahli hukum agar kasus bernuansa genocida  ini tidak dipersoalkan di dunia internasional. Semestinya kasus Poso  dan Ambon, cukuplah sebagai kasus kekerasan yang mengorbankan banyak  nyawa, dan jangan diperpanjang dengan kasus serupa di tempat lain,  apalagi hanya dilatarbelakangi oleh sengketa lahan dengan sebuah  perusahaan asing. “Presiden harus segera mengumpulkan ahli-ahli  hukumnya, karena pembiaran terhadap pembantaian semacam itu bisa  dikategorikan sebagai genocida dan bisa dipersoalkan di dunia  internasional. Jika bukan sekarang, bisa jadi pada masa yang akan  datang, persoalan ini akan menjadi batu kerikil yang berbahaya bagi  Presiden,” jelasnya.
Langkah cepat ketiga, lanjut Musthofa,  Presiden SBY Presiden harus memanggil seluruh pejabat terkait, termasuk  Kapolda, mantan Kapolda, Bupati, mantan Bupati, Gubernur dan mantan  Gubernur untuk dilakukan cross check informasi agar masyarakat  segera mendapatkan informasi yang pasti untuk melakukan langkah hukum  yang jelas dan transparan. “Tidak usah ditutupi informasinya, daripada  masyarakat akhirnya juga mengetahuinya di kemudian hari. Yang penting  Presiden melakukan langkah hukum jelas, pasti, dan transparan. Jika  kejadian semacam itu tanpa ada pejabat yang dihukum, kecil kemungkinan  ada keadilan di sana,” ujarnya.
Langkah cepat keempat, Presiden SBY  harus hentikan sementara perusahaan yang terlibat dalam kasus itu, dan  tidak boleh ada penghilangan barang bukti oleh perusahaan yang  bersangkutan. “Presiden harus cepat bongkar aksi biadab tersebut, dan  hindari prosedur biasa. Semakin lambat Presiden bergerak, maka semakin  besar peluang perusahaan itu untuk menghilangkan barang bukti,” tegas  Musthofa.
Langkah terakhir, jelas Musthofa,  Presiden SBY harus memerintahkan pengumpulan masyarakat yang dikabarkan  menghilang, dan melindungi mereka untuk memastikan ancaman apa yang  telah diterimanya, sehingga mereka melakukan aksi meninggalkan anak  istri serta rumah mereka. “Kasus pembantaian warga, tidak boleh lagi  terjadi. Apalagi dibiarkan dan ditutupi,” tutupnya. [taz]
 

 
 
 
 
 
 
