SURABAYA (Arrahmah.com) - Diplomat dari Kementerian Luar Negeri Australia Greg Ralph mengunjungi Pesantren Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya, Jawa Timur untuk menanyakan perkembangan radikalisme di pesantren.
“Beliau datang ke pesantren pada Jumat lalu (3/6) dengan didampingi Glen Askew (Deputi bidang Politik Kedubes Australia di Jakarta) dan Edwin Arifin (staf Kedubes),” kata pengasuh Pesantren An-Nur, KH Imam Ghazali Said, di Surabaya, Minggu (5/6/2011).
Ia menjelaskan diplomat seksi Indonesia untuk Kementerian Luar Negeri Australia yang didampingi dua anggota The Wahid Institute itu datang untuk bersilaturahmi dan menanyakan beberapa hal soal perkembangan pesantren di Indonesia.
“Beliau menanyakan kenapa pesantren yang selama ini dikenal di luar negeri sebagai lembaga tradisional dan mampu melahirkan santri toleran, tapi sekarang kok bisa mencetak kader yang radikal,” kata KH Imam Ghazali Said yang juga dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Menjawab pertanyaan itu, Imam Ghazali Said menjawab dengan opini yang seolah menyudutkan saudara sesame muslim dengan mengatakan bahwa di Indonesia ada 20.000-an pesantren milik Nahdlatul Ulama, serta mengatakan di Indonesia ada ratusan pesantren yang berafiliasi dengan Pesantren Ngruki yang diasuh Ustadz Abu Bakar Ba`asyir dan pesantren yang berafiliasi dengan kelompok Wahabi di Arab Saudi.
“Kalau pesantren milik NU yang jumlahnya puluhan ribu itu, saya jamin tidak ada satu pun yang mencetak kader radikal, tapi radikalisme di Indonesia selalu memiliki keterkaitan dengan Pesantren Ngruki dan cabang-cabang di seluruh Indonesia serta sejumlah pesantren yang membawa paham Wahabi di Indonesia,” katanya bangga.
Sayangnya ia tidak mengungkapkan penjelasan tentang paham Wahabi yang dimaksudnya. Dan menuduh bahwa santri radikal hanya berasal dari ratusan ‘pesantren Wahabi’ dan menilai bahwa pesantren NU sering mencetak kader ‘toleran’ .
‘Toleran’ seperti apa yang dimaksudnya? Apakah ‘toleran’ disini berarti menyesuaikan Islam dengan standar ganda liberalisasi? ‘Toleran’ yang mengungkapkan bahwa semua agama adalah sama dan benar? ‘Toleran’ yang menyebut musuh Islam sebagai kawan? Jadi sebenarnya santri yang toleran atau santri yang ngawur?
Diplomat Australia itu juga menanyakan peta demokrasi di Indonesia dan kaitannya dengan kelompok radikal yang mungkin akan mempengaruhi perkembangan demokrasi. Imam berpendapat bahwa jika ‘kelompok radikal’ itu mau berpolitik, mereka akan banyak bersentuhan dengan kelompok lain, sehingga mereka tidak akan terlalu ‘radikal’.
Namun, katanya, kelompok radikal itu umumnya tidak mau berpolitik karena mereka menilai politik dan partai politik di Indonesia masih belum baik, padahal mereka sebenarnya dapat memperbaiki politik yang dinilai bobrok itu.
Bahkan dengan sok tahunya, Ia menfitnah bahwa santri ‘radikal’ itu umumnya sangat eksklusif dan bukan berkumpul dengan tokoh politik dan tokoh ormas lain, melainkan justru sering “mengganggu” kelompok lain dengan menyusup ke organisasi atau pemerintahan, bahkan mereka juga merebut lembaga pendidikan, rumah sakit, atau tempat ibadah milik orang lain. Tanpa ada bukti nyata hal itu ia kemukakan dengan niat memberi citra buruk.
Sungguh menyedihkan melihat tokoh agama bangsa ini, sebagai muslim mereka bukannya mendukung dan membantu saudaranya, melainkan menjelek-jelekkan saudara seiman tanpa tahu apa yang ia bicarakan. Dan berusaha menjilat demi mendapatkan ‘nama baik’, padahal ‘nama baik’ itu hanya didapatkan ketika memperjuangkan agama Allah secara menyeluruh, bukan atas standar ganda berdasar humanisme, liberalisme yang diusung Amerika dan sekutunya. (ans/rasularasy/arrahmah.com)
“Beliau datang ke pesantren pada Jumat lalu (3/6) dengan didampingi Glen Askew (Deputi bidang Politik Kedubes Australia di Jakarta) dan Edwin Arifin (staf Kedubes),” kata pengasuh Pesantren An-Nur, KH Imam Ghazali Said, di Surabaya, Minggu (5/6/2011).
Ia menjelaskan diplomat seksi Indonesia untuk Kementerian Luar Negeri Australia yang didampingi dua anggota The Wahid Institute itu datang untuk bersilaturahmi dan menanyakan beberapa hal soal perkembangan pesantren di Indonesia.
“Beliau menanyakan kenapa pesantren yang selama ini dikenal di luar negeri sebagai lembaga tradisional dan mampu melahirkan santri toleran, tapi sekarang kok bisa mencetak kader yang radikal,” kata KH Imam Ghazali Said yang juga dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Menjawab pertanyaan itu, Imam Ghazali Said menjawab dengan opini yang seolah menyudutkan saudara sesame muslim dengan mengatakan bahwa di Indonesia ada 20.000-an pesantren milik Nahdlatul Ulama, serta mengatakan di Indonesia ada ratusan pesantren yang berafiliasi dengan Pesantren Ngruki yang diasuh Ustadz Abu Bakar Ba`asyir dan pesantren yang berafiliasi dengan kelompok Wahabi di Arab Saudi.
“Kalau pesantren milik NU yang jumlahnya puluhan ribu itu, saya jamin tidak ada satu pun yang mencetak kader radikal, tapi radikalisme di Indonesia selalu memiliki keterkaitan dengan Pesantren Ngruki dan cabang-cabang di seluruh Indonesia serta sejumlah pesantren yang membawa paham Wahabi di Indonesia,” katanya bangga.
Sayangnya ia tidak mengungkapkan penjelasan tentang paham Wahabi yang dimaksudnya. Dan menuduh bahwa santri radikal hanya berasal dari ratusan ‘pesantren Wahabi’ dan menilai bahwa pesantren NU sering mencetak kader ‘toleran’ .
‘Toleran’ seperti apa yang dimaksudnya? Apakah ‘toleran’ disini berarti menyesuaikan Islam dengan standar ganda liberalisasi? ‘Toleran’ yang mengungkapkan bahwa semua agama adalah sama dan benar? ‘Toleran’ yang menyebut musuh Islam sebagai kawan? Jadi sebenarnya santri yang toleran atau santri yang ngawur?
Diplomat Australia itu juga menanyakan peta demokrasi di Indonesia dan kaitannya dengan kelompok radikal yang mungkin akan mempengaruhi perkembangan demokrasi. Imam berpendapat bahwa jika ‘kelompok radikal’ itu mau berpolitik, mereka akan banyak bersentuhan dengan kelompok lain, sehingga mereka tidak akan terlalu ‘radikal’.
Namun, katanya, kelompok radikal itu umumnya tidak mau berpolitik karena mereka menilai politik dan partai politik di Indonesia masih belum baik, padahal mereka sebenarnya dapat memperbaiki politik yang dinilai bobrok itu.
Bahkan dengan sok tahunya, Ia menfitnah bahwa santri ‘radikal’ itu umumnya sangat eksklusif dan bukan berkumpul dengan tokoh politik dan tokoh ormas lain, melainkan justru sering “mengganggu” kelompok lain dengan menyusup ke organisasi atau pemerintahan, bahkan mereka juga merebut lembaga pendidikan, rumah sakit, atau tempat ibadah milik orang lain. Tanpa ada bukti nyata hal itu ia kemukakan dengan niat memberi citra buruk.
Sungguh menyedihkan melihat tokoh agama bangsa ini, sebagai muslim mereka bukannya mendukung dan membantu saudaranya, melainkan menjelek-jelekkan saudara seiman tanpa tahu apa yang ia bicarakan. Dan berusaha menjilat demi mendapatkan ‘nama baik’, padahal ‘nama baik’ itu hanya didapatkan ketika memperjuangkan agama Allah secara menyeluruh, bukan atas standar ganda berdasar humanisme, liberalisme yang diusung Amerika dan sekutunya. (ans/rasularasy/arrahmah.com)